ASN Sebagai Abdi Negara, Bukan Alat Kekuasaan



PEGAWAI negeri sipil (PNS) atau yang sekarang lebih populer disebut aparatur sipil negara (ASN), menduduki posisi penting dalam upaya negara/pemerintah pusat untuk menciptakan sekaligus menjamin kenyamanan dan kesejahteraan rakyat dan bangsa. Mereka memang bukan kaki-tangan, juga bukan otak negara dalam pengertian negara sebagai manusia buatan atau artificial man dalam istilah politik abad pertengahan (Thomas Hobbes), melainkan merupakan abdi negara. 

Pertanyaannya, mengapa masyarakat begitu ingin menjadi abdi negara? Bukankah abdi itu identik dengan pelayan? Apakah menjadi pelayan negara itu begitu bernilai, paling kurang pada tataran moral sosial sehingga masyarakat begitu meminatinya ataukah ada hal lain di balik itu?

Aparatur sipil

Aparatur sipil merupakan rangkaian kata serapan bahasa Latin. Aparatur yang berarti alat dan civis (sipil) berarti warga atau kawula yang posisinya persis di bawah pemerintah pusat. Ketika melaksanakan tugas (pengabdian), mereka akan menjadi cives atau rakyat milik negara yang berkarakter civilitatis karena santun dalam tutur, berpekerti dalam budi, dan ramah dari hati. 

Jika hal-hal seperti itu menjadi motif dasar bagi orang-orang yang mau menjadi ASN saat ini, acungan jempol patut diangkat buat mereka. Pun animo masyarakat yang begitu tinggi untuk menjadi ASN patut menjadi kebanggaan bangsa. Ketika tengah terjadi dekadensi moral, mereka justru tampil dan ingin menjadi kawula milik negara yang berkarakter civilitatis. 

Ketika nilai-nilai moral universal serta kearifan-kearifan lokal mulai pudar karena kepentingan perjuangan pribadi dan kelompok, mereka justru ingin tampil sebagai penjaga tonggak-tonggak kokohnya negara. Persoalannya, apakah memang faktanya demikian?

Berbagai penelitian terkini tentang kinerja ASN menunjukkan sekurang-kurangnya ada tiga hal yang menjadi anti tesis animo masyarakat menjadi ASN. Pertama, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas belum sepenuhnya prima. Banyak anggota masyarakat merasa belum dilayani dengan baik. 

Kedua, gagal mengartikan hakikat tugas dan tanggung jawab. Abdi negara yang sesungguhnya identik dengan abdi pemerintah pusat yang diwujudkan dengan melayani masyarakat karena pada hakikatnya mereka adalah perpanjangan tangan pemerintah untuk melayani masyarakat disalahpahami sebagai perwujudan kewenangan pemerintah. 

Ketiga, mengidentikkan tugas pengabdian dengan kekuasaan. Hal yang terakhir dengan cukup jitu mengindikasikan akan terjadinya tindakan-tindakan kesewenangan yang bertendensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. 

Korupsi, pungutuan liar, ketidak disiplinan seperti terlambat pulang mudik Lebaran dengan alasan subyektif merupakan segelintir contoh disfungsi dalam pelaksanaan tugas sebagai abdi negara, sekaligus pelayan publik.

Panca prasetya sebagai code of conduct

Menggejalanya disfungsi dalam kinerja para abdi negara dalam contoh-contoh di atas mengindikasikan bahwa panca prasetya yang menjadi tuntunan perilaku para abdi itu mulai kehilangan daya tuntun, nilai preskriptifnya sebagai kode etik profesional mulai memudar. Bahkan lebih dari itu, karakteristik ASN sebagai sebagai orang-orang terpilih dengan kriteria ketat– jujur, profesional, bebas KKN alias orang-orang yang berkepribadian utuh dan seimbang antara akal dan hatinya– mulai dipertanyakan. Mengapa?

Secara hakiki, panca prasetya pelaksanaan tugas pengabdian kepada negara melalui pelayanan masyarakat terdiri atas dua bagian. Pertama, merupakan deskripsi tentang siapa sesungguhnya anggota Korpri. Kedua, berisi lima butir janji untuk mengabdi. 

Keduanya tertata apik dalam rumusan berikut yaitu, ‘Kami, anggota Korps Pegawai Republik Indonesia adalah insan yang beriman dan bertakqwa kepada Tuhan YME, berjanji (i) setia dan taat kepada negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; dan (ii) menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara, serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara; (iii) mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan; (iv) memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korpri; dan (v) menegakkan kejujuran, dan disiplin serta meningkatkan kesejahteraan dan pofesionalisme’. 

Pada aras etika, hakikat dan isi panca prasetya mengandung nilai-nilai untuk kepribadian moral-religius yang kuat. ASN adalah insan-insan yang beriman dan bertakqwa kepada Tuhan YME. 

Maksudnya, bukan karena melaksanakan isi janji mereka disebut sebagai insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, melainkan karena mereka beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME sehingga dimampukan untuk mewujudkan kelima janji tersebut dalam kinerja. 

Dari sini menjadi jelas bahwa beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME merupakan syarat mutlak menjadi abdi negara atau ASN. Persoalannya, mengapa terjadi disfungsi dalam pelaksanaan tugas pengabdian? Mengapa pula korupsi, pungutan liar, dan ketidakdisiplinan masih terjadi di tubuh ASN?

Abdi negara, bukan penguasa

Pertanyaan-pertanyaan di atas persis menyentuh hakikat seorang penguasa, bukan abdi. Sejatinya, seorang abdi hanya melaksanakan tugas yang diberikan, tanpa peduli disayangi atau dibenci oleh pemberi tugas. 

Dalam konteks ini, isu yang lagi viral di media sosial saat ini bahwa ASN dimanja oleh Presiden RI tentu salah tempat. Disfungsi dalam pelaksanaan tugas terjadi karena abdi tersebut mengkianati janji-janji sebagai abdi negara sekaligus menganulir esensi diri sebagai insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME. 

Pengkhianatan janji dan esensi diri menunjukkan bahwa mereka sedang bertindak sebagai alat penguasa, padahal mereka adalah abdi negara, bukan alat kekuasaan negara! Untuk itu konsientisasi diri, hakikat serta janji yang tiada lain merupakan pengikatan diri dengan tanggung jawab di masa depan perlu dihidupkan selalu. Dengan cara seperti itu pemerintah akan kokoh karena rakyat nyaman dan sentosa.






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »