Ekonom: Resesi Global 2023 Lebih Mirip Krisis 1970 Ketimbang 1998


TEMPO.CO, Jakarta – Tanda-tanda ancaman resesi global semakin terlihat. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai kondisi krisis ekonomi yang dialami dunia saat ini lebih mirip resesi 1970 ketimbang krisis 1998 dan 2008.

“Kondisi krisis saat ini lebih mirip resesi 1970 dibandingkan dengan (krisis moneter) 1998 dan 2008. Tahun 1998, krisisnya regional hanya kawasan Asia. Sementara tahun 2008 penyebabnya adalah kredit perumahan AS atau krisis sektor keuangan,” kata Bhima ketika dihubungi oleh Tempo melalui pesan WhatsApp, pada Kamis, 6 Oktober 2022.

Sedangkan pada 1970, dunia dilanda krisis minyak karena perang teluk. Walhasil, berbagai negara di dunia mengalami gejolak inflasi. Di Indonesia, krisis itu juga sekaligus menandai transisi dari Orde Lama ke Orde Baru.

Bhima mengatakan pemerintah harus pasang kuda-kuda untuk mengantisipasi krisis. Misalnya dengan menjaga stabilitas stok pangan nasional dengan mengurangi ketergantungan impor beberapa komoditas yang rawan terimbas melemahnya kurs. Stok pangan yang dimaksud ialah gula, garam, daging sapi, gandum, dan bawang putih.

Selanjutnya, pemerintah perlu mendorong perluasan pasar ekspor ke negara alternatif. “Dorong perluasan pasar ekspor ke negara alternatif. Kita tidak bisa berharap pada permintaan Cina atau Amerika karena kedua negara menunjukkan tanda resesi yang serius. Alternatif negara dikawasan Afrika utara dan timur tengah nampaknya potensial,” ucapnya.

Baca juga: Hadapi Potensi Resesi, Anies Baswedan Sebut DKI Jakarta Teken MoU dengan 11 Daerah

Tidak sampai di situ, Bhima mengimbau agar pemerintah mendorong capital control, terutama syarat devisa hasil ekspor tambang dan perkebunan untuk dikonversi ke rupiah. Kemudian, pemerinta diminta melakukan stress test terhadap konglomerasi keuangan dan debitur kakap yang memiliki exposure risiko terhadap resesi global.

“Serta perkuat dukungan UMKM untuk jaga konsumsi domestik dan serapan tenaga kerja.” Adapun sejarawan di bidang ekonomi, Yuda Benharry Tangkilisan, mengatakan masalah krisis ekonomi sudah dikenal di Indonesia, bahkan sejak pembubaran VOC 1799.

Belajar dari pengalaman historis global, kata dia, sulit menghindari dampak krisis ekonomi global dan menanggulangi untuk mengakhirinya, karena akan pulih sesuai perkembangan global. Ia mengatakan perlu ada penguatan sektor ekonomi produksi dan jasa serta ekonomi kreatif untuk menopang perekonomian saat krisis terjadi. 

Yuda melihat peran pemerintah untuk menjaga stabilisasi politik dalam negeri pun penting untuk menekan dampak krisis itu. “Tindak tegas korupsi, termasuk kebiasaan konsumtif birokrasi yang melibatkan peranan pers dan masyarakat madani bermedia sosial, sangat menentukan terutama dalam mengawasi dan bersinergi dengan lingkungan perekonomian swasta dalam menggerakkan roda usaha,” ucap dia. 

Kemudian, ia menyebut perlu peranan perbankan dan bursa efek untuk melindungi kepentingan rakyat karena masyarakat Indonesia tergolong suka menabung dan berinvestasi. Terakhir, Yuda menyatakan pemerintah perlu memastikan peran kepolisian dan militer untuk menjaga keamanan, kenyamanan, keadilan, ketertiban.

DEFARA DHANYA PARAMITHA

Baca juga: Sandiaga: Untuk Menghadapi Resesi, Kita Bertopang kepada UMKM

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.





Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »