Bencana Lingkungan dan Sumber Daya Air Tanah Kita

[ad_1]

INDONESIA merupakan negara yang dikenal akrab dengan berbagai bencana geologi, seperti gempa bumi dan gunung meletus. Bencana itu merupakan konsekuensi dari kondisi geologi Indonesia yang unik dan kompleks. Salah satu bencana yang juga banyak terjadi di wilayah Indonesia ialah land subsidence atau amblesan tanah. Bencana ini dikenal juga sebagai a slowly developing geological disaster yang mempunyai karakter terjadi pada periode yang panjang dan terjadi secara pelahan-lahan (ukuran milimeter per tahun), tapi mempunyai daerah keterpengaruhan yang luas dan sulit dikendalikan dan dihentikan.

Faktor penyebabnya merupakan gabungan antara faktor alam dan antropogenik atau terkait aktivitas manusia yang sudah banyak diulas oleh banyak peneliti di berbagai jurnal ilmiah. Secara alami, amblesan tanah di antaranya disebabkan proses penurunan alami oleh oksidasi gambut, pemadatan lapisan lempung lunak, dan deformasi oleh struktur geologi.

Selain itu, bencana tersebut dapat dipercepat oleh berbagai aktivitas manusia, seperti proses pembebanan atau konstruksi yang masif, ekstraksi hidrokarbon, dan pengambilan air tanah yang berlebihan. Studi yang dilakukan Galloway, peneliti dari USGS Amerika Serikat, menunjukkan bahwa 80% dari kejadian amblesan tanah di Amerika Serikat terkait pengambilan air tanah. Bencana itu juga dikategorikan sebagai bencana lingkungan karena sangat berhubungan dengan dampak lingkungan yang disebabkan berbagai aktivitas manusia.

Di Indonesia, amblesan tanah banyak dijumpai di wilayah pantai utara Jawa. Banyak ahli menyatakan bahwa amblesan tanah di beberapa kota di pantura Jawa, seperti Jakarta dan Semarang, dipicu oleh semakin masifnya pengambilan air tanah di wilayah tersebut. Wilayah pesisir sendiri merupakan wilayah dengan perkembangan paling pesat. Wilayah tersebut biasanya merupakan area pedataran yang terdiri atas endapan muda dan belum terkonsolidasi. Karena itu, mempunyai akuifer air tanah (lapisan berisi air tanah) yang sangat produktif dan menjadi sumber air utama masyarakat.

Sumber daya air tanah

Pengetahuan umum mengategorikan air tanah ke dalam sumber daya yang terbarukan. Air tanah bisa leluasa diambil karena akan dengan mudah tergantikan oleh air hujan yang turun secara kontinu ke permukaan bumi. Konsep di atas benar, tapi tidak akurat. Air tanah yang berada di bawah tanah merupakan air yang tidak selalu berumur muda, bahkan dari berbagai studi yang dilakukan, air tanah yang diambil melalui sumur-sumur air tanah mempunyai umur yang cukup tua, mencapai puluhan hingga ratusan tahun.

Ini mempunyai arti bahwa hujan yang jatuh di permukaan bumi akan mengisi perlahan ke akuifer melalui pori-pori tanah dan batuan sebelum disedot melalui sumur-sumur. Seharusnya air tanah diperlakukan dengan hati-hati dengan pengambilan yang diatur sehingga ‘tidak besar pasak daripada tiang’; pengambilan dilakukan secara masif, sedangkan proses imbuhan terjadi secara perlahan alias tidak seimbang.

Konsep tersebut terlihat sederhana, tapi membutuhkan kajian ilmiah yang tidak mudah. Setiap cekungan air tanah (CAT) atau wilayah keterdapatan air tanah mempunyai karakteristik dan potensi akuifer yang berbeda. Kajian ilmiah mutlak diperlukan sehingga kondisi dan potensi air tanah bisa diketahui, termasuk berapa debit aman pengambilan air tanah untuk setiap sumur. Kalau diambil melebihi potensinya, air tanah akan terus berkurang dan membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk kembali pulih. Bahkan, bisa terjadi kekeringan air tanah selamanya dan bencana ikutan akan terjadi, terutama amblesan tanah.

 

Kajian ilmiah air tanah

Salah satu kajian ilmiah untuk menentukan dampak pengambilan air tanah ialah dengan pemodelan yang membutuhkan input yang lengkap untuk menghasilkan output yang baik. Salah satu input utama dalam pemodelan air tanah ialah jumlah pengambilan air tanah. Data pengambilan air tanah ini diketahui dari semua sumur pengambilan, baik sumur produksi untuk industri, pertanian, maupun sumur-sumur masyarakat.

Bukan hanya sulit didapat, data pengambilan air tanah di Indonesia hampir mustahil untuk diketahui secara pasti. Izin pengambilan air tanah yang diakses dari instansi terkait sering kali tidak mempunyai data yang akurat. Selain itu, masih sangat banyak sumur-sumur pengambilan berbagai sektor yang tidak tercatat sehingga kajian ilmiah menjadi tidak maksimal.

Sampai saat ini, air tanah masih menjadi sumber air utama masyarakat Indonesia. Air tanah sangat mudah diakses dan mempunyai kualitas yang baik untuk menjadi sumber air bersih. Dengan kemajuan teknologi, masyarakat bisa melakukan pengeboran sendiri hingga puluhan bahkan ratusan meter dengan mudah. Data terakhir BPS (2016) menyebutkan bahwa air tanah merupakan sumber air bersih favorit masyarakat yang mencapai lebih dari 60%, sementara persentase air permukaan (air sungai, waduk, dll) dan air hujan hanya mencapai 1,43% dan 2,40%.

Penyediaan air bersih untuk masyarakat oleh negara melalui air perpipaan sendiri masih cukup rendah, baru mencapai 21,8% pada 2020. Sebagai konsekuensi, masyarakat harus mencari air bersih mereka sendiri dan dengan berbagai alasan di atas, air tanah merupakan pilihan yang paling mudah bagi masyarakat.

 

Regulasi air tanah untuk perlindungan lingkungan

Bagaimana air (termasuk air tanah) dikelola di Indonesia bisa dilihat dari UU yang mengaturnya. Seperti yang kita tahu, Indonesia mempunyai UU No 17 Tahun 2019, undang-undang yang baru ditetapkan pada akhir 2019, menggantikan UU lama (UU No 7 Tahun 2004) yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Salah satu penyebab dibatalkannya UU lama ialah pemerintah dianggap menyerahkan kewajiban pemenuhan dan pelayanan air bersih kepada pihak ketiga sehingga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

MK juga menegaskan bahwa air merupakan salah satu unsur yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan manusia atau menguasai hajat hidup orang banyak sehingga harus dikuasai negara. Selain itu, dibutuhkan pembatasan yang sangat ketat dalam pemanfaatan air sebagai upaya untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air. Walapun demikian, banyak pihak yang menyebutkan bahwa UU yang baru justru mewakili poros kiri, yakni semangat antiindustri dan terlalu memberikan kuasa penuh kepada pemerintah.

Bukan ranah penulis untuk membahas detail pro-kontra undang-undang sumber daya air, melainkan lebih menyoroti tentang perlindungan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan ketersediaan air yang memang menjadi salah satu amanat utama Mahkamah Konstistusi.

UU baru juga menyatakan bahwa semua penggunaan air untuk kategori kebutuhan usaha harus melalui proses perizinan yang didahului dengan pertimbangan teknis berdasarkan kajian ilmiah. Apabila hal ini terlaksana dengan baik, data pengambilan air tanah akan tercatat dengan baik dan menjadi modal utama dalam kajian ilmiah air tanah. Selain itu, dalam UU dinyatakan bahwa apabila pengambilan air tanah dilakukan dalam debit besar dan berpotensi mengubah lingkungan, kebutuhan bukan usaha juga membutuhkan proses perizinan.

Kebutuhan bukan usaha meliputi kebutuhan penduduk dan kebutuhan untuk sosial, seperti tempat ibadah dan gedung-gedung pemerintah. Perizinan di sini dapat diartikan sebagai pencataan data. Karena itu, bisa digunakan untuk kepentingan kajian ilmiah dan berbagai kepentingan lain. Tidak selalu dikaitkan dengan pajak atau retribusi yang berpotensi memberatkan masyarakat.

Pengambilan air tanah untuk pertanian juga seharusnya diperlakukan sama. Untuk peruntukan kebutuhan apa pun, pengambilan air tanah mempunyai potensi dampak yang sama. CAT Ngawi-Ponorogo merupakan contoh cekungan yang didominasi wilayah pertanian yang dari data terakhir sudah mengalami penurunan air tanah yang cukup signifikan karena semakin maraknya pengambilan air tanah yang sebagian besar untuk sektor pertanian.

 

Penutup

Target 100% pemenuhan kebutuhan air masih menjadi target berat pemerintah yang harus terus dikejar. Salah satunya melalui pembangunan reservoir atau bendungan baru untuk penambahan sumber air baku. Apabila kebutuhan air bersih dapat segera terpenuhi, ketergantungan masyarakat terhadap air tanah tentu akan jauh berkurang.

Setelah tersendat karena pandemi, implementasi UU SDA melalui berbagai peraturan teknis juga segera dibutuhkan agar pengelolaan sumber daya air, terutama air tanah, menjadi terarah dan sesuai amanat MK, yaitu agar kelestarian lingkungan tetap terjaga dan ketersediaan air terus berlanjut.

Air tanah merupakan salah satu sumber daya yang selama ini terabaikan dan kurang teperhatikan. Namun, permasalahan terkait air tanah semakin lama semakin marak dan muncul di permukaan serta sudah menjadi perhatian dunia, salah satunya dengan diangkatnya tema Groundwater-making the invisible visible pada World Water Day tahun ini.

Masyarakat juga memegang peran sangat penting dalam isu tersebut. Salah satunya mendukung gerakan hemat air yang terus dicanangkan pemerintah, salah satunya melalui Permen ESDM No 12 Tahun 2012 tentang Penghematan Penggunaan Air Tanah.

Sebagai organisasi besar yang mewadahi lebih dari 40 juta anggota, Nahdlatul Ulama juga sangat peduli terhadap isu-isu lingkungan, terutama melalui salah satu lembaga otonomnya, yaitu Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI-NU).

Dalam buku Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, KH Ali Yafie, salah satu ulama besar NU, menegaskan bahwa pemerintah diamanati memegang kekuasaan untuk memelihara dan melindungi lingkungan hidup. Bukan sebaliknya, mengeksploitasi dan merusaknya.

Mengutip bunyi UUD 1945 Pasal 33 ayat (3): bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pengelolaan air harus berorientasi pada kemakmuran rakyat. Apabila terjadi bencana kekeringan dan bencana lingkungan lain karena salah dalam pengelolaan, tentu saja akan membuat rakyat semakin menderita dan jauh dari kata makmur.




[ad_2]

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »